Gisa dan Gani, dua kakak-beradik yang selama tiga tahun
terakhir ini hanya tinggal bersama kakek mereka. Mereka begitu belia untuk
hidup dengan kerasnya di tengah luasnya kota Jakarta.
Sewajarnya Gani adalah murid kelas 4 sekolah dasar, dan adik
perempuannya Gisa adalah murid kelas 2. Namun, alasan bertahan hidup membuat
mereka kehilangan kesempatan mengenakan seragam putih-merah dan belajar dalam
ruang kelas. Karena begitu besar keinginan mereka untuk bersekolah, seusai
mengumpulkan barang – barang bekas dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan,
keinginan mereka yang belum tercapai dapat sedikit tersalurkan melalui jendela
sebuah sekolah. Setiap harinya, seusai mereka berkeliling kota bersama Kakek
yang merupakan orang tua tunggal mereka.
“Kakek, Gisa haus.” Ujarnya dari dalam gerobak sampah yang
didorong oleh Kakek.
Kakek hanya terdiam, menatap bibir cucu bungsunya yang
nampak kering dan dahaga. Kakek meraba kantung celananya yang usang,
ditemukannya selembar uang seribu rupiah, “Alhamdulillah, sebentar ya Cu,” ujar
Kakek meninggalkan mereka ke warung
di seberang.
Kakek kembali membawa dua gelas air mineral, “Maaf ya
sayang, Kakek hanya bisa beli air mineral.” Gani dan Gisa menyambut dengan
semangat dua gelas air yang dibawakan Kakek, dengan tangan-tangan kecil mereka
yang penuh tanah dan debu. Setelah meminumnya sedikit, Gisa melihat Kakek duduk
kelelahan di samping gerobak mereka.
“Kakek ngga haus?”
tanya Gisa. Kakek hanya tersenyum dan menggeleng, lantas Gani menghampiri
Kakek dan duduk disampingnya. Memberikan
setengah dari apa yang ia minum, “Kakek jangan bohong, Kakek pasti haus. Kata
Kakek kan bohong itu dosa” ujar Gani kemudian.
Kakek tersenyum, nampak wajahnya ingin sekali memeluk kedua
cucunya dan tidak melepaskannya lagi. “Pintar sekali cucu kesayangan Kakek ini.
Gani harus jadi laki-laki yang berhasil, dan bisa beliin Gisa boneka beruang
besar yang kemarin kita lihat di depan mall.”
Kakek mengusap kepala Gani.
“Gani juga mau kasih Kakek hadiah!”
“Gisa juga mau berhasil dong, Kek. Biar bisa sekolah, nanti
jadi guru deh.” Sambung Gisa sembari melompat keluar dari gerobak. Baju yang
lusuh tidak mengurangi semangat Gisa.
“Oh! Harus itu! Gisa dan Gani harus sekolah suatu saat
nanti, harus jadi ‘orang’, biar
kalian ngga hidup seperti Kakek, bahkan
Ayah kalian.” Ujar Kakek yang menatap sedih ke jalanan.
Gisa berpindah ke pangkuan Kakek, “Kek, emangnya kenapa sih dulu Ayah ngga
sekolah?” tanyanya polos. “Iya Kek, kenapa Ayah ngga sekolah” tambah Gani kemudian.
Kakek tersenyum dan mulai bercerita tentang ayah mereka.
“Sebenernya itu salah Kakek, Cu. Dulu Kakek ngga
punya uang untuk biayain Ayah
sekolah. Ayah juga ngga mau sekolah
saat itu. Dia lebih memilih buat main dan cari uang, ngamen, mulung, sama kaya Kakek”
“Tapi Bibi Anis bilang sama Gisa kalau dulu Kakek sekolah?”
“Kakek sempat sekolah, sampai lulus SMP, Gisa, Gani. Jaman
Kakek dulu bisa masuk SMP itu udah
hebat loh. Ngga semua orang bisa sekolah sampai SMP. Terus, Kakek dulu kerja
jadi office boy di kantor gede. Tapi karena Kakek sudah berumur
dan cuma lulusan SMP, Kakek diberentiin kerja deh.” Kakek terdiam sejenak. “Setelah dewasa, Ayah kalian kerjanya
main judi, nyopet, pokoknya cari uang cara gampang. Apes waktu itu Ayah ditangkap warga,
dan….. yaah…. Makanya Kakek punya cita-cita buat sekolahin kalian sampai setinggi mungkin. Kalian mau kan?”
Kedua kakak-beradik ini menyeringai, “MAU!” ujar mereka
bersamaan dengan penuh semangat.
Malam itu Kakek kembali ke gubuk tua mereka. Wajah Kakek
nampak sangat kelelahan, dan nampak kantung mata yang mengendur karena usia
kini berubah warna menjadi gelap. Rambutnya yang mulai putih juga lusuh terkena
hujan yang mulai mongering. Gisa melihat bagaimana lelahnya Kakek, dan kembali
menghampiri Kakek dengan membawa segelas air putih hangat. “Kakek, kok beberapa bulan ini pulangnya larut
malam terus sih?” tanya Gisa.
“Kakek kan cari botol-botol, sayangku. Kamu sendiri belum
tidur? Ayo tidur, istirahat. Temani abangmu
di dalam ya. Mau hujan ini.” Setelah Gisa masuk, Kakek merebahkan dirinya pada
sebuat papan yang hanya berselimutkan tumpukan kertas koran yang sudah usang.
Rutinitas kembali mereka lakukan keesokan harinya. Usai
memulung, bel sekolah berbunyi, tanda sekolah siang telah masuk, Gani dan Gisa
bergegas menuju sekolah tersebut. Seperti biasa mereka memperhatikan proses
belajar dari balik jendela ruang kelas. Tak disangka, kepala sekolah yang
sedari tadi memperhatikan mereka,
menghampiri Gani dan Gisa, yang hampir membuat mereka akan berlari ketakutan.
“Hey, nak. Jangan pergi, sini. Gak apa-apa kok.” Panggil kepala sekolah itu. “kalian benar-benar
niat untuk belajar?” tanyanya lagi.
Gani dan Gisa hanya mengangguk kebingungan. Masih nampak
ketakutan pada wajah mereka. “Jangan takut ya, Bapak mau kasih kalian soal-soal
sekolah, nih. Ayo, ikut Bapak ke
kantor.” Sambut kepala sekolah dengan ramahnya. Setibanya di kantor kepala
sekolah, ia langsung memberikan beberapa lembar soal untuk mereka. Dengan
cekatan Gani dan Gisa mengerjakan soal-soal tersebut. Kepala sekolah mengawasi
pekerjaan mereka hingga selesai. Lantas ia tersenyum melihat hasil pekerjaan
mereka. “Mulai besok, kalian boleh datang ke kantor Bapak, saya akan berikan
soal-soal latihan untuk kalian. Kalau kalian bingung, boleh tanya Bapak.”
“Terima kasih ya, Pak” mereka menyalami tangan kepala
sekolah lalu kembali memulung. Sesampainya di tempat Kakek memulung, Gisa dan
Gani menceritakan apa yang baru mereka alami. Kakek nampak senang mendengarnya.
Mereka juga menceritakan bagaimana murid dalam kelas menghina mereka dengan
mengatakan “Bu, ada gembel diluar
jendela!” yang membuat mereka, terutama Gisa cukup sedih. Namun, Gani tetap
menguatkan Gisa dengan merangkulnya dan membawanya pergi dari sana.
⃝
Dua bulan mereka lalui dengan rutinitas baru, yaitu menemui
Bapak Kepala Sekolah setiap siang selama kurang lebih satu jam lamanya. Sampai
pada akhirnya, Kakek memutuskan menemui Kepala Sekolah yang baik hati itu.
Percakapan mereka cukup lama, dan Kepala Sekolah membahas mengenai pekerjaan
Gani dan Gisa yang selama ini dinilai cukup baik. Kakek keluar ruangan dan
memberikan mereka dua pasang seragam sekolah baru. Gani dan Gisa melonjak
kegirangan mengetahui mulai siang itu mereka dapat bersekolah disana, sesuai
dengan keinginan mereka yang besar selama ini. Mereka tidak meninggalkan
pekerjaan mereka membantu Kakek. Berganti-gantian, Gani membantu Kakek pada
pagi hari dan Gisa di siang harinya.
Ternyata dunia sekolah tidak sepenuhnya sesuai dengan apa
yang mereka bayangkan, berbagai hinaan datang dari beberapa siswa yang berasal
dari keluarga yang sangat jauh dari kehidupan Gani dan Gisa.
“Jangan! Jangan lempar sepatu Gisa!” teriaknya sambil
menangis ketakutan. Terlambat sudah. Siswa-siswa jahil itu telah melempar
sepatu Gisa ke dalam danau kecil di belakang sekolah. Gisa menangis sesenggukan
dan berjalan pulang ke gubuk Kakek.
Tak banyak yang dapat Gani, Gisa, dan Kakek
perbuat. “Kakek punya sedikit rejeki, mungkin cukup untuk beli sepatu Gisa.
Tapi Kakek ngga bisa beliin yang bagus, Cu.” Gisa terdiam
masih meratapi kejadian tadi siang. “Gani gak
apa-apa kalo Kakek hanya beliin
Gisa?”
Gani lantas tersenyum, “Ngga
kok Kek, sepatu Gani masih bisa dipakai kok”.
Kakek mengurungkan niatnya membeli beberapa obat untuk sakit
batuknya yang tidak kunjung sembuh setahun terakhir ini. Demi melihat Gisa
tersenyum.
Keesokan harinya, Kakek menuju sebuah pasar kecil yang
menjual sepatu-sepatu bekas. Kakek memilihkan sebuah sepatu berwarna hitam
dengan garis kecil berwarna pink, warna kesukaan Gisa. Namun, sedih nampak di
wajah Kakek menyadari bahwa sepatu tersebut bukanlah sepatu baru. Dan hanya itu
yang mampu Kakek beli. Kakek berjalan meninggalkan pasar dan kembali memulung,
searah dengan tempat Kakek, Gisa, Gani, dan beberapa rekan Kakek beristirahat.
Sesak mulai dirasakan Kakek yang akhirnya memutuskan beristirahat. Sapaan
hangat beberapa rekan menyambut kedatangan Kakek. Dengan bangganya Kakek
menceritakan sedikit tentang cucu-cucu kesayangannya.
“Kek, dari mana? Seneng banget
nih mukanya?” goda salah seorang
pedagang minuman di tempat itu.
“Woh jelas aku senang. Lihat ini!” Kakek menunjuk sepatu
yang baru saja ia beli “Biar bekas tapi bagus kan?”
“Wah bagus Kek, buat si
kecil ya?” tanya pemulung lainnya
“Pasti dong.
Cucu-cucuku sekarang sekolah. Gani itu pintar seperti Ibunya. Kalau Gisa, dia bawel sekali, selalu mau belajar,
seperti Neneknya” ujar Kakek yang tiba-tiba mengenang masa lalu.
“Wah bagus ya Kek, biar sukses mereka berdua. Biar ngga kaya Kakeknya ya, hahaha.” Goda pemulung lainnya.
Kakek tertawa bahagia. Sedikit bersenda gurau, Kakek
merasakan sesak napas dan batuk tidak berhenti. Kakek kehilangan kesadaran.
Seluruh pemulung, penjual minuman, sangat terkejut, dan langsung membawanya ke
Puskesmas terdekat.
Sepulangnya Gani dan Gisa dari sekolah, betapa terkejutnya
mereka melihat gubuk tua mereka ramai dipenuhi tetangga dan rekan-reka Kakek.
Gani tidak menghiraukan bendera kuning tergantung tepat depan gubuk tua mereka.
Gani menangis sejadi-jadinya mendapati Kakek mereka, yang merupakan orang tua
mereka satu-satunya terbaring tak bernyawa, telah pergi meninggalkan si kecil kesayangan Kakek. Bibi Anis,
tetangga terdekat mereka, memeluk Gani dan Gisa yang menangis merengek memohon Kakek agar kembali
bersama mereka, memangkunya, membacakan dongeng sebelum tidur, mencium kening
mereka sebelum mereka berangkat dan akan tidur.
“Gisa, Kakek kamu bawa sepatu ini untuk kamu. Kakek pasti
berharap kamu pakai sepatu ini ke sekolah. Biar semangat sekolahnya” ujar Bibi
Anis menitihkan air mata. “Gani, Kakek nitipin
kertas ini buat kamu.” Secarik kertas diberikan pada Gani.
“Adikmu akan selalu membutuhkanmu. Kakek yakin kamu akan selalu
melindungi dan mencintainya seperti Kakek mencintai kalian berdua…”
⃝
Bertahun-tahun sudah berlalu. Gani dan Gisa telah tumbuh
besar dan mengarungi samudera kehidupan yang amat keras. Kini, Gani dan Gisa
berdiri di samping makam Kakek, juga Nenek, Ibu, dan Ayahnya yang telah dipugar
dengan baik oleh mereka.
“Kakek, Gisa dan Abang
Gani datang lagi. Gisa cuma mau
cerita, Gisa baru pulang dari wisudaan,
Kek. Lega rasanya lulus. Gisa seneng,
andai aja Kakek, Nenek, Ibu, dan Ayah
ada disana. Gisa akan jadi guru, Kek! Sesuai janji Gisa sama Kakek, Gisa akan
jadi guru buat anak-anak seperti Gisa dan Abang Gani dulu. Terima kasih ya
Kakek selalu jadi inspirasi dan motivasi Gisa” ujarnya di depan nisan
bertuliskan nama Kakek mereka.
Gani mengelus rambut adiknya, “Kek, Gani sekarang bisa beliin Gisa boneka. Bahkan lebih bagus
dari boneka yang dulu kita liat. Gani
juga dulu janji sama Kakek, Gani akan kasih Kakek hadiah. Semoga ini jadi
hadiah yang terbaik untuk Kakek, yaitu kelulusan Gisa dan diterimanya Gani di
Rumah Sakit besar di kota, Gani akan mulai praktek minggu depan, Kek!”
“Ini hadiah untuk Kakek…”