Monday, April 15, 2013

Hadiah Untuk Kakek


Gisa dan Gani, dua kakak-beradik yang selama tiga tahun terakhir ini hanya tinggal bersama kakek mereka. Mereka begitu belia untuk hidup dengan kerasnya di tengah luasnya kota Jakarta. 

Sewajarnya Gani adalah murid kelas 4 sekolah dasar, dan adik perempuannya Gisa adalah murid kelas 2. Namun, alasan bertahan hidup membuat mereka kehilangan kesempatan mengenakan seragam putih-merah dan belajar dalam ruang kelas. Karena begitu besar keinginan mereka untuk bersekolah, seusai mengumpulkan barang – barang bekas dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan, keinginan mereka yang belum tercapai dapat sedikit tersalurkan melalui jendela sebuah sekolah. Setiap harinya, seusai mereka berkeliling kota bersama Kakek yang merupakan orang tua tunggal mereka.

“Kakek, Gisa haus.” Ujarnya dari dalam gerobak sampah yang didorong oleh Kakek.
Kakek hanya terdiam, menatap bibir cucu bungsunya yang nampak kering dan dahaga. Kakek meraba kantung celananya yang usang, ditemukannya selembar uang seribu rupiah, “Alhamdulillah, sebentar ya Cu,” ujar Kakek meninggalkan mereka ke warung di seberang.

Kakek kembali membawa dua gelas air mineral, “Maaf ya sayang, Kakek hanya bisa beli air mineral.” Gani dan Gisa menyambut dengan semangat dua gelas air yang dibawakan Kakek, dengan tangan-tangan kecil mereka yang penuh tanah dan debu. Setelah meminumnya sedikit, Gisa melihat Kakek duduk kelelahan di samping gerobak mereka.

“Kakek ngga haus?” tanya Gisa. Kakek hanya tersenyum dan menggeleng, lantas Gani menghampiri Kakek  dan duduk disampingnya. Memberikan setengah dari apa yang ia minum, “Kakek jangan bohong, Kakek pasti haus. Kata Kakek kan bohong itu dosa” ujar Gani kemudian.

Kakek tersenyum, nampak wajahnya ingin sekali memeluk kedua cucunya dan tidak melepaskannya lagi. “Pintar sekali cucu kesayangan Kakek ini. Gani harus jadi laki-laki yang berhasil, dan bisa beliin Gisa boneka beruang besar yang kemarin kita lihat di depan mall.” Kakek mengusap kepala Gani.

“Gani juga mau kasih Kakek hadiah!”

“Gisa juga mau berhasil dong, Kek. Biar bisa sekolah, nanti jadi guru deh.” Sambung Gisa sembari melompat keluar dari gerobak. Baju yang lusuh tidak mengurangi semangat Gisa.

“Oh! Harus itu! Gisa dan Gani harus sekolah suatu saat nanti, harus jadi ‘orang’, biar kalian ngga hidup seperti Kakek, bahkan Ayah kalian.” Ujar Kakek yang menatap sedih ke jalanan.

Gisa berpindah ke pangkuan Kakek, “Kek, emangnya kenapa sih dulu Ayah ngga sekolah?” tanyanya polos. “Iya Kek, kenapa Ayah ngga sekolah” tambah Gani kemudian.

Kakek tersenyum dan mulai bercerita tentang ayah mereka. “Sebenernya itu salah Kakek, Cu. Dulu Kakek ngga punya uang untuk biayain Ayah sekolah. Ayah juga ngga mau sekolah saat itu. Dia lebih memilih buat main dan cari uang, ngamen, mulung, sama kaya Kakek”

“Tapi Bibi Anis bilang sama Gisa kalau dulu Kakek sekolah?”

“Kakek sempat sekolah, sampai lulus SMP, Gisa, Gani. Jaman Kakek dulu bisa masuk SMP itu udah hebat loh. Ngga semua orang bisa sekolah sampai SMP. Terus, Kakek dulu kerja jadi office boy di kantor gede. Tapi karena Kakek sudah berumur dan cuma lulusan SMP, Kakek diberentiin kerja deh.” Kakek terdiam sejenak. “Setelah dewasa, Ayah kalian kerjanya main judi, nyopet, pokoknya cari uang cara gampang. Apes waktu itu Ayah ditangkap warga, dan….. yaah…. Makanya Kakek punya cita-cita buat sekolahin kalian sampai setinggi mungkin. Kalian mau kan?”

Kedua kakak-beradik ini menyeringai, “MAU!” ujar mereka bersamaan dengan penuh semangat.


Malam itu Kakek kembali ke gubuk tua mereka. Wajah Kakek nampak sangat kelelahan, dan nampak kantung mata yang mengendur karena usia kini berubah warna menjadi gelap. Rambutnya yang mulai putih juga lusuh terkena hujan yang mulai mongering. Gisa melihat bagaimana lelahnya Kakek, dan kembali menghampiri Kakek dengan membawa segelas air putih hangat. “Kakek, kok beberapa bulan ini pulangnya larut malam terus sih?” tanya Gisa.

“Kakek kan cari botol-botol, sayangku. Kamu sendiri belum tidur? Ayo tidur, istirahat. Temani abangmu di dalam ya. Mau hujan ini.” Setelah Gisa masuk, Kakek merebahkan dirinya pada sebuat papan yang hanya berselimutkan tumpukan kertas koran yang sudah usang.

Rutinitas kembali mereka lakukan keesokan harinya. Usai memulung, bel sekolah berbunyi, tanda sekolah siang telah masuk, Gani dan Gisa bergegas menuju sekolah tersebut. Seperti biasa mereka memperhatikan proses belajar dari balik jendela ruang kelas. Tak disangka, kepala sekolah yang sedari  tadi memperhatikan mereka, menghampiri Gani dan Gisa, yang hampir membuat mereka akan berlari ketakutan.

“Hey, nak. Jangan pergi, sini. Gak apa-apa kok.” Panggil kepala sekolah itu. “kalian benar-benar niat untuk belajar?” tanyanya lagi.

Gani dan Gisa hanya mengangguk kebingungan. Masih nampak ketakutan pada wajah mereka. “Jangan takut ya, Bapak mau kasih kalian soal-soal sekolah, nih. Ayo, ikut Bapak ke kantor.” Sambut kepala sekolah dengan ramahnya. Setibanya di kantor kepala sekolah, ia langsung memberikan beberapa lembar soal untuk mereka. Dengan cekatan Gani dan Gisa mengerjakan soal-soal tersebut. Kepala sekolah mengawasi pekerjaan mereka hingga selesai. Lantas ia tersenyum melihat hasil pekerjaan mereka. “Mulai besok, kalian boleh datang ke kantor Bapak, saya akan berikan soal-soal latihan untuk kalian. Kalau kalian bingung, boleh tanya Bapak.”

“Terima kasih ya, Pak” mereka menyalami tangan kepala sekolah lalu kembali memulung. Sesampainya di tempat Kakek memulung, Gisa dan Gani menceritakan apa yang baru mereka alami. Kakek nampak senang mendengarnya. Mereka juga menceritakan bagaimana murid dalam kelas menghina mereka dengan mengatakan “Bu, ada gembel diluar jendela!” yang membuat mereka, terutama Gisa cukup sedih. Namun, Gani tetap menguatkan Gisa dengan merangkulnya dan membawanya pergi dari sana.
Dua bulan mereka lalui dengan rutinitas baru, yaitu menemui Bapak Kepala Sekolah setiap siang selama kurang lebih satu jam lamanya. Sampai pada akhirnya, Kakek memutuskan menemui Kepala Sekolah yang baik hati itu. Percakapan mereka cukup lama, dan Kepala Sekolah membahas mengenai pekerjaan Gani dan Gisa yang selama ini dinilai cukup baik. Kakek keluar ruangan dan memberikan mereka dua pasang seragam sekolah baru. Gani dan Gisa melonjak kegirangan mengetahui mulai siang itu mereka dapat bersekolah disana, sesuai dengan keinginan mereka yang besar selama ini. Mereka tidak meninggalkan pekerjaan mereka membantu Kakek. Berganti-gantian, Gani membantu Kakek pada pagi hari dan Gisa di siang harinya.

Ternyata dunia sekolah tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang mereka bayangkan, berbagai hinaan datang dari beberapa siswa yang berasal dari keluarga yang sangat jauh dari kehidupan Gani dan Gisa.

“Jangan! Jangan lempar sepatu Gisa!” teriaknya sambil menangis ketakutan. Terlambat sudah. Siswa-siswa jahil itu telah melempar sepatu Gisa ke dalam danau kecil di belakang sekolah. Gisa menangis sesenggukan dan berjalan pulang ke gubuk Kakek. 

Tak banyak yang dapat Gani, Gisa, dan Kakek perbuat. “Kakek punya sedikit rejeki, mungkin cukup untuk beli sepatu Gisa. Tapi Kakek ngga bisa beliin yang bagus, Cu.” Gisa terdiam masih meratapi kejadian tadi siang. “Gani gak apa-apa kalo Kakek hanya beliin Gisa?”

Gani lantas tersenyum, “Ngga kok Kek, sepatu Gani masih bisa dipakai kok”.

Kakek mengurungkan niatnya membeli beberapa obat untuk sakit batuknya yang tidak kunjung sembuh setahun terakhir ini. Demi melihat Gisa tersenyum.

Keesokan harinya, Kakek menuju sebuah pasar kecil yang menjual sepatu-sepatu bekas. Kakek memilihkan sebuah sepatu berwarna hitam dengan garis kecil berwarna pink, warna kesukaan Gisa. Namun, sedih nampak di wajah Kakek menyadari bahwa sepatu tersebut bukanlah sepatu baru. Dan hanya itu yang mampu Kakek beli. Kakek berjalan meninggalkan pasar dan kembali memulung, searah dengan tempat Kakek, Gisa, Gani, dan beberapa rekan Kakek beristirahat. Sesak mulai dirasakan Kakek yang akhirnya memutuskan beristirahat. Sapaan hangat beberapa rekan menyambut kedatangan Kakek. Dengan bangganya Kakek menceritakan sedikit tentang cucu-cucu kesayangannya.

“Kek, dari mana? Seneng banget nih mukanya?” goda salah seorang pedagang minuman di tempat itu.

“Woh jelas aku senang. Lihat ini!” Kakek menunjuk sepatu yang baru saja ia beli “Biar bekas tapi bagus kan?”

“Wah bagus Kek, buat si kecil ya?” tanya pemulung lainnya

“Pasti dong. Cucu-cucuku sekarang sekolah. Gani itu pintar seperti Ibunya. Kalau Gisa, dia bawel sekali, selalu mau belajar, seperti Neneknya” ujar Kakek yang tiba-tiba mengenang masa lalu.

“Wah bagus ya Kek, biar sukses mereka berdua. Biar ngga kaya Kakeknya ya, hahaha.” Goda pemulung lainnya.

Kakek tertawa bahagia. Sedikit bersenda gurau, Kakek merasakan sesak napas dan batuk tidak berhenti. Kakek kehilangan kesadaran. Seluruh pemulung, penjual minuman, sangat terkejut, dan langsung membawanya ke Puskesmas  terdekat.

Sepulangnya Gani dan Gisa dari sekolah, betapa terkejutnya mereka melihat gubuk tua mereka ramai dipenuhi tetangga dan rekan-reka Kakek. Gani tidak menghiraukan bendera kuning tergantung tepat depan gubuk tua mereka. Gani menangis sejadi-jadinya mendapati Kakek mereka, yang merupakan orang tua mereka satu-satunya terbaring tak bernyawa, telah pergi meninggalkan si kecil kesayangan Kakek. Bibi Anis, tetangga terdekat mereka, memeluk Gani dan Gisa yang menangis merengek memohon Kakek agar kembali bersama mereka, memangkunya, membacakan dongeng sebelum tidur, mencium kening mereka sebelum mereka berangkat dan akan tidur.

“Gisa, Kakek kamu bawa sepatu ini untuk kamu. Kakek pasti berharap kamu pakai sepatu ini ke sekolah. Biar semangat sekolahnya” ujar Bibi Anis menitihkan air mata. “Gani, Kakek nitipin kertas ini buat kamu.” Secarik kertas diberikan pada Gani.

“Adikmu akan selalu membutuhkanmu. Kakek yakin kamu akan selalu melindungi dan mencintainya seperti Kakek mencintai kalian berdua…”

Bertahun-tahun sudah berlalu. Gani dan Gisa telah tumbuh besar dan mengarungi samudera kehidupan yang amat keras. Kini, Gani dan Gisa berdiri di samping makam Kakek, juga Nenek, Ibu, dan Ayahnya yang telah dipugar dengan baik oleh mereka.

“Kakek, Gisa dan Abang Gani datang lagi. Gisa cuma mau cerita, Gisa baru pulang dari wisudaan, Kek. Lega rasanya lulus. Gisa seneng, andai aja Kakek, Nenek, Ibu, dan Ayah ada disana. Gisa akan jadi guru, Kek! Sesuai janji Gisa sama Kakek, Gisa akan jadi guru buat anak-anak seperti Gisa dan Abang Gani dulu. Terima kasih ya Kakek selalu jadi inspirasi dan motivasi Gisa” ujarnya di depan nisan bertuliskan nama Kakek mereka.

Gani mengelus rambut adiknya, “Kek, Gani sekarang bisa beliin Gisa boneka. Bahkan lebih bagus dari boneka yang dulu kita liat. Gani juga dulu janji sama Kakek, Gani akan kasih Kakek hadiah. Semoga ini jadi hadiah yang terbaik untuk Kakek, yaitu kelulusan Gisa dan diterimanya Gani di Rumah Sakit besar di kota, Gani akan mulai praktek minggu depan, Kek!”

“Ini hadiah untuk Kakek…”

Thursday, April 11, 2013

Soal Ujian - Kisah Inspiratif


Ini kisah tentang Riri,  salah seorang mahasiswi yang sedang menyelesaikan kuliah semester akhir di sebuah Universitas Negeri. Riri  mengambil jurusan disebuah fakultas yang cukup favorit, yaitu Fakultas Kedokteran. Sebuah fakultas – menurut keyakinannya – yang dapat membuat hidupnya lebih baik di masa mendatang. Bukan kehidupan yang hanya baik untuknya, tetapi juga buat keluarganya yang telah berusaha susah payah mengumpulkan uang, agar ia dapat meneruskan dan lulus dari kuliahnya dengan baik.

Kakaknya pun rela untuk tidak menikah tahun ini, karena ia harus menyisihkan sebagian gajinya untuk membiayai tugas akhir dan biaya-biaya laboratorium serta praktikum yang cukup tinggi untuk Riri.

Kini tiba saatnya Riri harus mengikuti ujian semester akhir, mata kuliah yang diberikan oleh dosennya cukup unik. Saat itu sang dosen ingin memberikan pertanyaan-pertanyaan ujian secara lisan.

“Agar aku bisa dekat dengan mahasiswa”cerita Riri menirukan kata dosennya kepada mahasiswa beberapa waktu lalu.

Satu per satu pertanyaan pun dia lontarkan,  para mahasiswa berusaha menjawab pertanyaan itu semampu mungkin dalam kertas ujian mereka.

Ketakutan dan ketegangan Riri saat ujian terjawab saat itu, pasalnya 9 pertanyaan yang dilontarkan oleh sang dosen lumayan mudah untuk dijawab olehnya. Jawaban demi jawaban pun dengan lancar ia tulis di lembar jawaban.

Hingga sampailah pada pertanyaan ke-10.“Ini pertanyaan terakhir” kata dosen itu.


“Coba tuliskan nama ibu tua yang setia membersihkan ruangan ini, bahkan seluruh ruangan di gedung Jurusan ini!” kata sang dosen sambil menggerakkan tangannya menunjuk keseluruh ruangan kuliah.
www.kisahinspirasi.com


Sontak saja mahasiswa seisi ruangan pun tersenyum. Mungkin mereka menyangka ini hanya gurauan, jelas pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan mata kuliah yang sedang diujikan kali ini, pikir Riri dalam benaknya.

“Ini serius!” kata sang dosen yang sudah agak tua itu dengan tegas. “Kalau tidak tahu mending dikosongkan aja, jangan suka mengarang nama orang!”. lanjutnya mengingatkan.

Riri tahu persis siapa orang yang ditanyakan oleh dosennya itu. Dia adalah seorang ibu tua, orangnya agak pendek, rambut putih yang selalu digelung. Dan ia juga mungkin satu-satunya cleaning service di gedung jurusan kedokteran tempat Riri kuliah. Ibu tua itu selalu ramah serta amat sopan dengan mahasiswa-mahasiswi di sini. Ia senantiasa menundukkan kepalanya saat melewati kerumunan mahasiswa yang sedang nongkrong. Tapi satu hal yang membuat Riri merasa konyol, justru ia tidak hafal nama ibu tua tersebut. Dan dengan terpaksa ia memberi jawaban ‘kosong’ pada pertanyaan ke-10 ini. Ujian pun berakhir, satu per satu lembar jawaban pun dikumpulkan ke tangan dosen itu.

Sambil menyodorkan kertas jawaban, Riri mencoba memberanikan diri bertanya kepada dosennya kenapa ia memberi ‘pertanyaan aneh’ itu, serta seberapa pentingkah pertanyaan itu dalam ujian kali ini?.

“Justru ini adalah pertanyaan terpenting dalam ujian kali ini” kata sang dosen.

Mendengar jawaban sang dosen, beberapa mahasiswa pun ikut memperhatikan ketika dosen itu berbicara. “Pertanyaan ini memiliki bobot tertinggi dari pada 9 pertanyaan yang lainnya, jika anda tidak mampu menjawabnya, sudah pasti nilai anda hanya C atau D,” ungkap sang dosen.

Semua berdecak, Riri pun bertanya kepadanya lagi, “Kenapa Pak?” Jawab sang  dosen itu sambil tersenyum, “Hanya yang peduli pada orang-orang sekitarnya saja yang pantas jadi dokter.” Lalu sang sang dosen pergi  membawa tumpukan kertas jawaban ujian itu sambil meninggalkan para mahasiswa dengan wajah yang masih tertegun.


Thursday, April 4, 2013

Happy Birthday Aleesya

 



Happy 2th Birthday Aleesya Gladys Aprilian

Monday, April 1, 2013

Kita Berbeda

Sepenggal kisah dari masa lampau...

Berawal dari rasa iseng dan rasa ingin tahu, apa kabar dia sekarang? Hampir tiga tahun berlalu semenjak kudengar kabar terakhirnya. Aku sudah lagi tidak memiliki alamat rumahnya disana, tidak memiliki nomor teleponnya, bahkan jejaring sosial pun tidak. Namun, rasa ingin tahu yang tinggi membuatku nekat membuka account jejaring sosialnya. Tepat update paling akhir darinya adalah “HBD for someone out there” tepat di hari ulang tahunku yang telah berlalu, lebih dari enam bulan.

Di hari itu, aku masih mengingat bagaimana pertemuan kami terjadi. Pahit memang mengenang masa lalu yang kurang baik. Aku enggan menyebut itu semua hal yang pahit, karena semuanya telah terjadi dan atas pilihanku.

Aku, yang pada saat itu masihlah labil, kusebut ini semua sebagai masa ‘percobaan’ hidup, yang hidup dalam dunia yang tidak pernah diharapkan kedua orang tuaku akan dialami anak mereka jika mereka mengetahuinya, bahkan membayangkannya pun enggan. Dunia yang cukup keras, walaupun masih banyak yang jauh lebih dari ini semua diluar sana.

Masih terbayang bagaimana ruangan itu begitu putih, kosong, dingin, dan botol – botol minuman beralkohol berserakan disana. Beberapa wajah nampak asing tak kukenal, hanya beberapa nama yang kukenal namun tak cukup baik. Aku belum juga tersadar akan niat buruk mereka yang terpancar dari sorot mata mereka memandangiku ujung rambut sampai kaki. Aneh memang. Aku melihat tatapan itu, aku merasakan arti tatapan itu, namun tak juga kusadari kalau mungkin itu akan menjadi kesalahan karena aku, berada di ruangan itu, pada sore menjelang malam itu. Mata – mata nakal mereka membuatku cukup tak nyaman. Tetapi, kurasakan satu mata tertuju padaku, tatapan hangat tanpa niat buruk. Aku tidak mengenalnya, sama sekali tidak.

Tangannya terjulur depan mataku menyebutkan namanya, lamunanku sirna dalam sekejap. Sosoknya terlihat sangat keras dibalik kalimat – kalimatnya yang terlontar lembut. Perawakannya yang keras sangat menunjukkan dari etnis mana ia berasal. Ia tidak tampan, hanya saja aku nyaman berbincang dengannya.
Ya, malam ini terasa sangat kacau seiring dengan kepalaku yang semakin terasa berat. Bertambahlah sudah dosaku malam ini. Perasaan bersalahku tak bertahan lama, seiring dengan obrolan kami yang menyelamatkanku dari niat-niat ‘mereka’ yang jahat padaku. Malam ini usai dengan kesediaannya mengantarkanku hingga depan pintu rumahku. Tak ada rayuan dan kata-kata nakal selama percakapan kami berlangsung. Hanya satu hal yang kuingat malam itu, matanya menoleh padaku saat aku akan memasuki pintu rumah bersamaan dengan senyum seakan mengucap ‘selamat malam’. Mungkin hanya perasaanku, tapi itu yang terjadi. Kuanggap hanya angin lalu, karena kerap kutemui lelaki yang entah dimana perasaan mereka berada yang melakukan hal sama dan berujung luka. Aku sudah maklum, aku sudah penat.

ɷ

Cahaya pagi menyambut mataku untuk terbuka, terasa perih mengingat mataku hanya terpejam pulas selama tiga jam saja. Aku harus kembali sekolah. Rutinitas terjadi mulai dari aku bangkit dari tempat tidur. Pikiranku melayang kemanapun perginya yang kemudian buyar melihat rangkaian huruf dalam ponsel, pesan singkat memberiku sedikit senyum dan kejanggalan pagi itu.

“Selamat pagi. Maaf ga ada maksud lancang hubungin duluan, wanna say thank you buat semalam :)”

Shocked? Yeah, sedikit. Terutama ketika melihat siapa yang menuliskan itu. Pikiran kedua adalan, dari mana ia bisa menghubungiku. Kemudian, apa yang ia inginkan. Seperti biasa si bodoh dalam otakku tidak mau pusing memikirkan hal-hal tersebut. Hanya untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain, apa salahnya. Salahnya, ketika kebodohanku bisa terulang lagi. Kecewa, sakit, dan ditinggalkan.

Hari berlalu cepat, aku tidak menganggap satupun mereka yang menjalin komunikasi denganku adalah orang yang special. Ketika aku merasa nyaman, komunikasi terasa benar, dan baik-baik saja. Namun, dari mana datangnya rasa nyaman itu? Untuk pertama kalinya setelah malam itu, aku bertemu lagi dengannya. Hanya sekedar makan pinggir jalan, berbincang ringan, ia sangat nampak berusaha mengenalku lebih dalam. Sesingkatnya, beberapa hari setelahnya ia berusaha menjalin sesuatu yang lebih denganku. Sekali lagi, apa salahnya.

Satu hal yang kami saling ketahui dan kami saling tak sadari. Perbedaan.

Sebulan, dua bulan, terasa manis. Terasa indah sebagaimana remaja seusia kami, yang hanya terpaut dua tahun perbedaan, menjalani hari-hari bersama. Walaupun tidak setiap hari, ia nampak gemar berhadapan dengan gerbang sekolahku bersama sepeda motor butut kesayangannya, menantiku keluar menghampirinya, disambutnya aku dengan senyumnya. Aku tak pernah peduli dengan apa ia menjemputku, bahkan berjalan kaki pun aku sangat senang. Mindset dalam diriku berubah perlahan, menjadi sebuah kebiasaan melalui hari bersama-sama, dan terasa ada yang hilang jika tidak melihatnya. Berlebihan memang, orang-orang mengatakan inilah jatuh cinta. Cinta monyet? Ya, mungkin. Kami masih muda, mungkin yang orang dewasa katakana ini benar sebagai cinta monyet yang mereka katakan itu.

Ada hal yang terasa sedikit berubah. Awalnya, aku berpikir bahwa ini hanya masa peralihan dari manisnya awal hubungan ke masa jenuh. Tapi apakah benar, kejenuhan datang di masa seumur jagung? Pertanyaan – pertanyaan kerap menggangguku. Mengapa ia jarang menghubungiku, apakah ada orang lain, mengapa ia menghindariku, apakah ia mulai lelah. Aku bersedia menjumpainya di sekitar lingkungannya, mengapa ia menghindar? Kukumpulkan keberanianku mengutarakan perasaan – perasaan aneh dipikiranku ini. Tiga bulan sudah cukup bagiku mengenal wataknya yang keras dan tegas seperti lingkungan dari mana ia dibesarkan. Dan begitu terkejutnya aku mendengar pernyataannya.

“Tiga bulan bukan waktu yang lama, bukan juga sebentar. Aku udah cukup mengenal kamu, terbiasa hari-hariku terisi sama kamu. Memang benar, sebelum aku mengenal kamu, ada perempuan lain dalam statusku, malam kita tepat dua bulan sama-sama. Aku minta maaf, aku ngga bermaksud jahat, aku memilih kamu…”

Perasaanku begitu terguncang mendengarnya. Selama ini aku percaya pada kebohongan? Ia begitu manis memperlakukanku seakan ia akan bersamaku selamanya.

“… tapi satu hal yang kita anggap kecil dan sama-sama terlupakan. Kita beda. Kita beda dalam beberapa hal kecil dan besar. Kita beda usia, jelas. Kita beda etnis, jelas. Kita beda latar belakang lingkungan, jelas. Dan kita beda keyakinan. Sama-sama kita paham dan tau, keyakinan kita, dari diri masing-masing maupun keluarga, adalah hal terkuat yang kita punya. Keluargaku tau semua tentang kamu, walaupun aku berusaha memperkenalkan kamu kepada mereka.”
Aku sedih, sangat sedih. Merasa menjadi perempuan paling terpuruk saat itu. Tetapi, kalaupun ini semua harus berakhir, untuk alasan yang tepat aku bersedia. Namun sorot mata berkaca-kaca yang nampak di matanya membuatku tidak mengerti apa yang akan terjadi setelah ini.

“Ini memang baru seumur jagung, but… I love you”

Satu hal yang sebelumnya aku tidak pernah lihat kecuali pada film dan televisi, seorang lelaki menitihkan air mata dan berusaha ia sembunyikan.

I will protect you, I promise”

ɷ

Hubungan kami berubah cukup drastis. Tidak ada lagi bertemu setiap hari, tidak ada lagi bebas berkomunikasi kapanpun dan dimanapun. Sampai pada akhirnya keputusan seorang ayah telah dijatuhkan, untuk membiarkan anak lelaki satu-satunya tinggal di kota asalnya, Medan. Kami terpisah kota, kami terpisah daratan. Tidak pernah satu malam pun terlewatkan tanpa tangisanku menyambut suara lembutnya di telepon. Kalimat – kalimat yang selalu ia berikan, bertujuan membangkitkan semangatku. Aku mengetahui kebenciannya melihat dan mendengarkan aku menangis, namun tak kuasa kutahan saat mendengar suaranya. Perasaan takut kehilangan saling kami rasakan. Tentu saja perseteruan dan perdebatan kecil kerap ada di tengah hubungan kami. Perlahan, kekuatan rasa percaya mulai terkikis.

Aku terlalu mendramatisir keadaan seakan kami akan dipisahkan selamanya. Namun, Tuhan masih mengizinkan kami bersama. Hanya dua bulan ia bertahan di sana. Kami telah melalui enam bulan bersama-sama, mungkin ini masih usia yang cukup muda. Walaupun masih terasa berbeda, seperti awal hubungan kami yang manis, kepulangannya ke Jakarta tidak mengubah banyak hubungan kami. Semakin buruk yang kurasakan, kami mencuri waktu pada malam hari bahkan menjelang pagi hanya untuk saling melihat wajah kami, dan terpisahkan oleh gerbang pagar rumah.

Lima belas bulan berlalu dengan berat. Terasa begitu lambat saat kami tidak bersama, dan terasa begitu singkat saat kami berjumpa. Terkadang, untuk beberapa hal aku merasa ini tidak adil. Perasaan ingin memiliki kisah yang ‘normal’ seperti mereka disekelilingku selalu muncul di benakku. Berbagai tekanan terjadi dari pihak keluarganya dan mereka yang ada di sekelilingnya, kuterima dengan berusaha berlapang dada. Seperti kesabarannya tak pernah terputus saat membela dan menerima semua tentang aku, baik dan buruknya aku, salah dan benarnya aku, bahkan menerima lontaran kalimat hinaan yang terlontar untukku karena masa laluku. Aku sudah bosan mendengarkan sahabat-sahabatku berkata "sudahlah akhiri saja". Dan ia tetap menjagaku sesuai dengan janjinya.

Untuk kedua kalinya, kami harus terpisah. Awalnya memang berat, namun kami pernah mengalaminya. Ia selalu meyakinkan aku kalau segalanya akan berjalan dengan baik bersama dengan kesabaran dan keikhlasan kami. Seperti setiap malam kuterima kalimat manis yang menyemangatiku di keesokan harinya, saat aku terbangun dari tidurku. Rasa kepercayaan mulai terkikis kembali. Aku membiarkannya bebas diluar sana, termasuk membiarkannya mencari pengganti kehadiranku disana. Aku enggan menyebutnya berselingkuh karena aku pun mengetahui dan mengizinkan hal itu, walaupun tidak bertahan lama. Ia selalu mengeluhkan dan memandang perbedaan wanita itu dengan aku disini. Kami sadar, kami takut saling kehilangan.

Di sisi lain, dengan segala alasannya selama ini, ia berusaha meninggalkanku dengan menyakiti hatiku, dan ia tak pernah berhasil melakukannya. Satu hal ia menyatakan semua ini sudah berubah dan tidak ada lagi cinta. Dalam hal lain ia menangisi kalimatnya tadi dan berusaha kuat agar aku tidak mengetahuinya.

Aku tak lagi menjadi perempuan nakal dan hidup di dunia liar seperti pertama kali ia menemukanku. Ia mengangkatku dari sebuah jurang yang curam, menarik tanganku dan mengangkatku keluar dari gelapnya jurang itu. Menemani langkahku menemukan jalan hidup yang lebih baik dan segala pelajaran kedewasaan yang kami hadapi bersama. Aku tidak sempurna, begitupun ia. Dan kami tidak akan menjadi sempurna. Memang benar mungkin sepatah kalimat dalam sebuah lagu, Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Perbedaan memang indah, bagi kami. Tetapi tidak untuk beberapa dari mereka. Segala perbedaan ini menyatukan kami, memberi kami hidup yang baru. Dibalik segala rasa sakit dan kekecewaan yang sama-sama kami rasakan, ia tetap menjadi seseorang yang tidak akan pernah terhapus dari memoriku.

”Perbedaan sesungguhnya adalah hal yang sangat indah. Perbedaan adalah hal yang menyatukan dua dan lebih insan manusia. Namun,perbedaan tidak akan menjadi indah bila mereka yang berada di dalamnya tidak memahami dengan baik seperti apa perbedaan yang terjadi. Jika disana kau melangkah untuk membencinya, disini ia menangis atas keputusan bulat yang ia ambil. Dan ia akan selalu menyesali akhir kisah kalian dengan cara yang sangat tidak ia inginkan. Kalimat ini klise tapi kamu harus percaya, tidak ada yang tidak mungkin terjadi dan kalau kalian memang ditakdirkan bersama akan selalu ada jalan untuk kembali.” Inilah kalimat yang terakhir yang kuingat dari seorang sahabat dan kerabat, satu-satunya, yang selalu menyemangati langkah kami. “Hidupmu tidak berakhir disini…”

Tak ada lagi sepasang tangan manusia dengan posisi yang berbeda sebelum memulai makan. Tak ada lagi peringatan pagi buta untukku menjalankan ibadah dan hari minggu-ku menanti menantinya kembali beribadah. Waktu berlalu, dan perpisahan kami menjadi lebih dari apa yang kami rasakan sebelumnya. Aku selalu menantinya pulang, bahkan menjelang natal, aku berharap ia kembali ke rumah untuk merayakannya, namun ia tak kunjung kembali. Tuhan tidak mengambil jiwanya dari hidupku, Tuhan hanya mengambil raga dan kabarnya dariku.

Entah apa jawaban Tuhan, perpisahan kah? Mungkinkah Tuhan mengirimkannya untuk menarik tanganku keluar dari jurang curam itu? Atau Tuhan memang menginginkan kisah kami sebagai batu loncatan kehidupan, memberikan pengalaman dan warna hidup untuk menjadikan kami semakin dewasa di kemudian hari, dan mungkin memberikan sedikit kisah indah untuk diceritakan pada anak-anak kami kelak.


Diadaptasi dari sebuah kisah seorang wanita, dengan sedikit pengubahan.

Monday, March 18, 2013

Mirror in the Way

Hello Mr.Mirror,
I didn't use you to see my past, but to see myself as I am. The most painful thing is when I look back, look at the past that I'm never regret what has happened. But for me, what's pasts has left many scars and a deep hole.

Everyone has ever felt slumped. Feel so stupid and worst than another who ever lives. And they also ever felt so much happy like you are the one who lives happily ever. Is that wrong? Never. What the relative things is about true or false, good or bad, and the decisions that we can not set by ourselves.

Remember, there are crossroads inside a long way of the life. Whatever the choices we made in yesterday, it will define the rest of our days. Life is like through the toll-road, no back off, no turning around.